Nalar Visioner

Mengasah Nalar Intelektual

Jurnal Visioner didedikasikan pada dunia pendidikan yang memuat Jurnal Ilmiah, Opini, Dll

Iklan Komersial

3/04/2021

Ontologi dan Epistemologi


ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI
 Muhammad Aziz

Abstrak

Filsafat ilmu mempuyai tiga landasan utama yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ontologi mengkaji tentang apa, epistimologi mengkaji tentang bagaimana, dan aksiologi mengkaji tentang untuk apa. Pembahasan makalah ini lebih fokus tentang ontologi dan epsitimologi. Makalah ini betujuan mengetahui apa hakekat yang ada dan bagaimana cara mengetahui hakekat terjadinya dan kebenaran ilmu.

Kata Kunci: filsafat ilmu, ontologi, epsitimologi, aksiologi


A. PENDAHULUAN
Filsafat memberikan asumsi-asumsi[1] dasar bagi  setiap cabang ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya dengan pendidikan.  Ketika filsafat membahas tentang ilmu alam, maka diperoleh filsafat ilmu alam. Ketika filsafat mempertanyakan konsep dasar dari hukum, maka terciptalah filsafat hukum, dan ketika filsafat mengkaji masalah-masalah dasar pendidikan, maka terciptalah cabang filsafat yang bernama filsafat pendidikan (Kneller, 1971: 4)  Jadi, setiap bidang ilmu mempunyai landasan-landasan filsafat masing-masing.  Unsur-unsur esensial dalam landasan filsafat ilmu ada tiga yang utama, yaitu  yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. 

B. ONTOLOGI
2.1. Pengertian
Istilah ontologi (ontology) berasal dari  bahasa Yunani; on,ontos  berarti ada, keberadaan dan logos ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian ontologi merupakan ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang ada.[2] Ontologi merupakan cabang ilmu hakekat yang membicarakan hakekat sesuatu yang ada. Sering ontologi dikaitkan dengan metafisika[3]. Telaah ontologi akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang: apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, bagaimana wujud hakiki obyek tersebut, dan bagaimana hubungan antara obyek dan daya tangkap manusia yang dapat menghasilkan pengetahuan. Esensi dari ontologi bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan.[4]

2.2. Obyek
Obyek telaah ontologi hakekat yang ada. Ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu, yakni membahasa tentang yang ada secara universal[5], menampilkan pemikiran semesta universal. Obyek formal ontologi adalah hakekat seluruh realitas. Sehingga dalam pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam jumlah, sedangkan pendekatan kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialism, idealisme, naturalism, atau hylomorphisme.[6] Ontologi ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara metodis (menggunakan cara ilmiah), sistematis (saling berkaitan satu sama lain secara teratur dan menyeluruh), koheren (unsur-unsurnya harus bertautan, tidak mengandung uraian yang bertentangan), rasional (berdasarkan kaidah berfikir yang benar/logis), komprehensif ( melihat obyek yang tidak hanya dari satu sisi atau sudut pandang, tetapi secara multidimensional/ secara kesuluruhan/holistic).
2.3. Aliran-aliran Ontologi
2.3.1.      Monoteisme; paham yang menganggap bahwa hakekat yang asal dari seluruh itu hanya satu, tidak mungkin dua. Sumber asal haruslah satu baik berupa materi maupun rohani. Monoteisme terbagi menjadi dua aliran: 1. Materialistik; sumber yang asal itu materi, bukan rohani, sering disebut naturalisme. Contah bahwa zat mati itu kenyataan dan fakta. 2.  Idealisme atau spiritualisme; hakekat kenyataan yang beraneka ragam berasal dari roh (sukma) yang tidak berbentuk dan menempati ruang, materi dan zat hanyalah suatu jenis penjelmaan rohani.
2.3.2.      Dualisme; memandang bahwa hakekat itu ada dua. Berarti bahwa benda terdiri dari dua macam hakekat sebagai sumber asal yaitu hakekat materi dan hakekat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit, materi bukan muncul dari roh dan roh bukan muncul dari benda. Keduanya berdiri sendiri, sama azali dan abadi. Contoh hakekat dalam diri manusia.
2.3.3.      Pluralisme; memandang bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur dan entitas. Anaxahoras dan Empedocles menyatakan bahwa substansi yang ada terbentuk terdiri atas empat unsur yaitu tanah, air, api, dan udara.
2.3.4.      Nihilisme; nothing atau tidak ada. Gorgias (360-483 SM) mempunyai tiga pandangan tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis, realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu tidak ada, ia tidak dapat diketahui, pengindaraan tidak dapat dipercaya hanya sebagai ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui, ia tidak dapat dibertahukan kepada orang lain.
2.3.5.      Agnotisisme; pengingkaran bahwa manusia tidak sanggup mengetahui hakekat benda, baik hakekat materi maupun hakekat rohani.  

2.4. Perbedaan Ilmu, Agama , dan Seni Ditinjau dari Ontologi
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui manusia baik seni maupun agama. Sedangkan agama memasuki wilayah transendental yang berada diluar pengamanan manusia. Sebagai contoh, “apakah yang akan terjadi setelah manusia mati?” ini bukan wilayah ilmu untuk menjawab, akan tetapi agama yang menjawab. Seni pada sisi lain sebagi pengetahuan, karena mencoba untuk mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuhnya lewat berbagai kemampuan manusia untuk menangkapkan seperti pikiran, emosi, dan pancaindera. Sedangkan ilmu mengembangkan model yang sederhana secara empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi variabel terikat dalam sebuah hubungan yang terikat. Sebuah karya seni yang baik bisa mempengaruhi sikap dan perilaku manusia, seni mempunyai peranan penting dalam pendirikan moral dan budi pekerti suatu bangsa. [7]
Jujun S. Suriasumantri menerangkan lebih lanjut bahwa ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Seperti lirik lagi Ebit G. Ade; “ ….. kepada angin, kepada awan, dan rumput yang bergoyang.” Lirik tersebut mengandung makna yang sangat dalam yaitu kita untuk bertanya kepada angin, kepada awan dan rumput yang bergoyang; untuk mengkaji ayat-ayat kauniyah dan kauliyah.[8]

2.5. Pandangan Ontologi
Berdasarkan perbedaan antara ilmu, agama,dan seni yang diuraikan di atas bahwa antara filsafat, ilmu,  dan agama memiliki tujuan yang sama untuk mencari kebenaran. Dalam mencari kebenaran pada tataran filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama yaitu akal dan rasio. Keterbatasan manusia akal manusia untuk menjelajah tentang ontologi atau metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu merupakan kebenaran relatif. Sedangkan agama bersumber dari wahyu Tuhan, maka kebenaranya absolut atau mutlak.
Dilihat dari obyek ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), sedangkan obyek filsafat jangkau kajian lebih luas yaitu wilayah fisik maupun metafisik (alam, manusia, dan Tuhan) dengan dasar rasional spekulatif, sehingga kebenaran tidak absolute mutlak. Nah ranah Agama yang kebenarannya absolute mutlah karena berdasarkan wahyu Tuhan yang diimani.
Hakikat ilmu dalam Islam, ada tiga sumber ilmu yang diyakini dan dipegangi umat Islam, yakni: sumber ilmu yang berasal dengan ayat-ayat qauliyyah (wahyu Tuhan); sumber ilmu yang terkait dengan ayat-ayat kauniyyah (alam semesta); dan sumber ilmu yang berhubungan dengan ayat-ayat insâniyyah (diri manusia).[9]
                              
C. EPISTEMOLOGI
3.1. Pengertian
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji segala usaha yang dapat dilakukan untuk mencari jawaban atas kebenaran yang hakiki. Epistemologi akan terus mencari dan mengkaji hingga pada batas yang tidak dapat dikaji lagi. Batasan dari epistemologi adalah batasan dari pola pikir manusia hingga pada akhirnya kebenaran sejati hanya bermuara pada kebenaran milik Tuhan semata. Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian,atau ulasan. Karena berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan, lebih tepat apabila logos diterjemahkan dalam arti teori. Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.[10]
Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemology. Pertama idealisme atau yang lebih dikenal dengan sebutan rasionalisme dan yang kedua adalah realisme atau yang lebih dikenal dengan sebutan empirisme.
a.       Idealisme/rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan.
b.      Realisme/empirisme
Empirisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan memilih bukti empiris.[11]
Subyek epistimologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dapam pengertian khusus. Terdapat empat persoalan dasar dalam bidang epistimologi yaitu:
1.      Apakah sumber pengetahuan itu? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang? Dan bagaimana kita dapat mengetahuinya? (origin).
2.      Apakah watak dari pengetahuan?
3.      Adakah dunia riil di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengetahui? Ini semua adalah problema penampilan (appearance) terhadap realitas.
4.      Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problema mencoba kebenaran (verification).[12]
Mengenai masalah dasar atau sumber pengetahuan dijawab oleh aliran rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Adapun masalah batas pengetahuan yaitu mengenai dapat/tidak dapat mencapai kebenaran mutlak? Dijawab oleh aliran dogmatisme dan skeptisme. Aliran dogmatisme berpendapat kebenaran mutlak dapat dicapai. Artinya, kebenaran pengetahuan yang sempurna dan abadi dapat dicapai melalui ilmu. Sebaliknya aliran skeptis berpendapat bahwa orang tidak dapat mencapai pengetahuan yang benar karena terbatas pada akal yang terus berubah terus-menerus dari generasi ke generasi. Sedangkan masalah objek pengetahuan dijawab oleh idealisme dan realisme.[13]

3.2. Tahapan Epistimologi
John Hosper dan Knight (1982) meyakini bahwa di dalam mengetahui memerlukan alat, yaitu pengalaman indera, (sense of experience), nalar (reason), wahyu (revelation), otoritas (autority), instuisi (Instuition) dan keyakinan (faith). Bagaimana cara memperoleh pengetahuan, itulah yang menjadi bagian dari jawaban tahapan epistimologi, jika dianalogikan seperti seseorang yang bertanya bagaimana cara membuat kue nastar. Jawabannya kue nastar dibuat dengan berbagai tahap, bukan kepada bahan yang menjadi unsur kue akan tetapi lebih kepada cara/proses bagaimana kue dibuat. Penjelasan tahapan epistimologi membahas bagaimana cara memperoleh pengetahuan.[14]
Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah, Van Peuren membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni:[15]
1.      Tahap mistis; sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan ghoib di sekitarnya.
2.      Tahap ontologi; sikap manusia yang tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan ghoib dan bersikap mengambil jarak dari obyek di sekitarnya serta melakukan penelaahan-penelaahan terhadap obyek tersebut.
3.      Tahap fungsional; sikap manusia yang bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan ghoib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelahaan terhadap obyek di sekitarnya.

3.3. Aliran-Aliran Epistimologi
Secara garis besar aliran pokok dalam epistimologi terdapat dua aliran yaitu rasionalisme dan empirisme sebagaiman telah dijelaskan pembahasan di atas yang kemudian menghasilkan isme-isme lainnya.
1.      Empirisisme. Tokoh aliran empirisisme adalah John Locke. Beliau mengemukakan bahwa manusia itu pada mula kosong dari pengetahuan, dari pengalamanlah ia memperoleh pengetahuan.
2.      Rasionalisme. Tokoh aliran rasionalisme adalah Rene Descrates; Pengetahuan di dapat berdasarkan melalui akal, kebenaran suatu pengetahuan ditentukan akal.
3.      Positivisme. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte; Pengetahuan didapat dengan cara penyeimbang pertentangan antara aliran empirisme dan rasionalisme dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
4.      Fenomenalisme.Tokoh aliran fenomenalisme adalah      Immanuel Kant; bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan menghubungkan kategori-kategori pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Kant berpendapat dengan pahamnya bahwa pengetahuan itu terdiri dari empat macam, yaitu:
a)      Yang analitis a priori (pengetahuan hasil analisis yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau yang ada sebelum pengalaman)
b)      Yang sintesis a priori (pengetahuan hasil oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsurr yang tidak saling bertumpu).
c)      Yang analistis a posteriori (pengetahuan hasil analisis yang diperoleh setelah pengalaman)
d)     Yang sintesis a posteriori (pengetahuan yang diperoleh setelah pengalaman atau pengetahuan empirisme yang lazim.)
5.      Institusionalisme. Tokoh aliran institusionalisme adalah Henri Bergson. Henri berpendapat bahwa Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan intuisi artinya melukiskan suatu kejadian, tetapi tidak pernah mengenai kejadian itu seluruhnya.[16]
6.       Realialisme. Tokoh aliran realisme adalah Aristoteles. Menurut Aristoteles realitas berada dalam benda-benda konkrit atau dalam proses perkembangan. Bentuk/ide/prinsip keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan.[17]
7.      Skeptisisme. Tokoh aliran skeptisisme adalah Rene Decrates. Rene menyatakan bahwa indra adalah bersifat menipu atau menyesatkan.[18]
8.      Pragmatisme. Salah satu tokohnya adalah C.S. Piere. Piere menyatakan bahwa yang terpenting adalah manfaat apa yang dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana.[19]

3.4. Ciri Epistemologi
Dalam praktik pencarian pembenaran ilmiah sudah memperlihatkan cir-ciri penelusuran filosofi yaitu menyeluruh (holistic), mengakar (radical), meragukan (skeptic). Mengacu pada pengetahuan bahwa epistimologi juga biasa disebut teori pengetahuan maka memiliki ciri dasar pembenaran, semantik dan sistematis, intersubjektivitas.[20]
1.      Dasar pembenaran; Dasar pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus dirasakan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil kajian empiris.  pembenaran yang sudah diuji melalui metode ilmiah.
2.      Sistemik; Pengetahuan ilmiah harus bersifat sistemik maksudnya terdapat sistem di dalam susunan suatu pengetahuan ilmiah(produk) dan di dalam cara memperoleh pengetahuan ilmiah itu(proses, metode).
3.      Intersubjektif; Intersubjektif menunjukkan pengetahuan yang telah diperoleh seorang subjek harus mengalami verifikasi oleh subjek-subjek lain supaya pengetahuan itu lebih terjamin keabsahan atau kebenarannya

3.5. Aspek epistimologi
Dalam menelusuri kebenaran empirik atau kebenaran ilmiah tidak mengesampingkan kebenaran lainnya.[21]
a.       Paham koherensi/konsistensi; bahwa kebenaran adalah apabila ada konsistensi dari arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau lebih logika.
b.      Paham korespondensi; bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan dalam teori.
c.       Paham empiris; kebenaran yang melandasi pekerjaan ilmuan dalam melakukan penelitian.
d.      Paham pragmatisme; bahwa kebenaran dapat diukur dari kegunaan, dapat dikerjakan, dan memuaskan.

3.6. Pembahasan epistimologi
Jujun menyatakan bahwa epistimologi adalah landasan kefilsafatan yang berkaitan dengan proses penemuan dan penyusunan pengetahuan. epistimologi ilmu adalah bagian dari filsafat ilmu yang membahas proses dan penyusunan pengetahuan ilmiah.[22] Epistimologi penemuan teori baru adalah prosedur yang menggabungkan berpikir rasional dan pengamatan empiris dengan jembatan berupa hipotesis (logic-hypothetico-verifikatif) atau produser yang dilakukan melalui metode ilmiah untuk menemukan teori baru. Epistimologi pemecahan masalah adalah prosedur penelitian yang melakukan penalaran deduksi dalam pengajuan hipotesis seperti yang dilakukuan dalam epistimologi penemuan teori baru. Epistimologi penemuan ilmiah adalah prosedur yang mendahulukan konteks penemuan yang diikuti oleh konteks justifikasi artinya mendahulukan kesimpulan yang ditarik dari pengumpulan data dan selanjutnya dibahas untuk memberi justifikasi terhadap penemuan empiris tersebut. [23]

3.7. Dimensi epistimologi
Pengetahuan manusia diperoleh dengan akal, indra dan lain-lain mempunyai metode sendiri dalam teori pengetahuan sebagai berikut:[24]
1.      Metode induktif; metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi dengan pernyataan lebih umum.
2.      Metode deduktif; metode ini menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut dengan sistem yang runtut.
3.      Metode positivism; metode yang berpangkal pada apa yang telah diketahui, faktual, dan positif.
4.      Metode kontemplatif; karena manusia keterbasan akal dan indra untuk memperoleh pengetahuan sehingga obyek yang dihasilkanpun berbeda-beda harus dikembangkan dengan intuisi[25].
5.      Metode dialektis; metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.
6.      Metode analis sejarah; untuk mengurai sumber kajian epistimologi dan perubahan yang terjadi sepanjang sejarah.

D.  AKSIOLOGI
Aksiologi adalah teori tentang nilai. Maksudnya nilai adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagi pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi mengacu pada etika[26] dan estetika[27]. Dengan kata lain aksiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dai sudut pangan kefilsafatan di dalam penerapan ilmu ke dapal praktis.[28]
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.

E.  KESIMPULAN
Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus saling terkait.





Daftar Pustaka



Biyanto.2015. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.
Susanto. 2013. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Jujun, Suriasumantri. 2013. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cet. 24. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Blikololong. ----. J.B.,Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III


[1] Asumsi artinya dugaan dasar atau landasan berpikir, KBBI
[2] Susanto. Hlm.90
[3] Tafsiran yang paling pertama diberikan manusia terhadap alam ini bahwa wujud-wujud yang bersifat ghaib berersifat lebih tinggi atau lebih kuasa disbandingkan dengan alam nyata (Juju S Suriasumantri, 2013, hlm.64)
[4] Gaarder, Joestin. 2006. Dunia Sophie. Bandung: Mizan Pustaka. Hlm. 44
[5] Universal artinya muatan kebenarannya sampati tingkat umum yang berlaku dimana saja)
[6] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 83
[7] Jujun S. Suriasumantri, 2013, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 24,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hlm.104-105
[8] Ibid, hlm. 109
[9] Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu. QS. Fushshilat (41): 53
[10] Dedi Supriyadi.2010. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 97
[11] Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 106
[12] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 94
[13] Susanto. 2013. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Bumi Aksara: Jakarta. Hlm. 138

[14] Ibid. Susanto. Hlm. 137
[15] Jujun S. Suriasumantri, 2013, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 24,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hlm.122
[16] Ibid. Susanto. Hlm. 142
[17] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 98
[18] Ibid. Suadi. Hlm. 99
[19] Ibid. Suadi. Hlm. 99
[20] Op. Cit. Susanto. Hlm. 106-107
[21] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm.44
[22] Jujun S. Suriasumantri, 2013, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 24,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hlm.283
[23] Ibid. Jujun. Hlm 339
[24] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 99-104
[25] Intuisi adalah bisikan hati
[26] Etika adalah sesuai dng asas perilaku yg disepakati secara umum. KBBI
[27] Estetika adalah ilmu keindahan. KBBI
[28] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 116

Adbox